Antamatika

 Antamatika

Oleh Riska Yuvista

Ah, soal-soal lagi, rumus dan semua angka-angka itu.  

Waktuku terkuras dengan hal yang membuatku mencoret-coret secarik kertas. Lalu kutuliskan hal-hal yang penuh dengan logika. Dengan setengah berantakan juga sedikit membuatku menggaruk-garuk kepala. Sekejap tangan menjadi kaku kerap kali aku menggenggam pensil, bolpoin, penghapus karet dan semua yang berhubungan dengan angka-angka. Tiada fikiran ataupun imajinasi untuk menggerakan tangan apalagi menuliskan dua tiga soal yang ada.  Memikirkannya saja aku  enggan .

Logika..! logika..! logika.!

Berfikir..! (lagi) Rumus... dan angka-angka aku muak dengan semua.

Angin masih tetap berhembus dengan selayaknya. Lima, enam ranting yang tertanam di sepanjang meteran tanah yang merimbuni lingkup. Lengkap dengan jajaran bangunan.

Suara tiga kali !

Pedagang mulai menyuguhkan makanan dengan rapi. Siswa memenuhi tempat yang jaraknya tidak lebih lima meter dari rung kelas. Penuh dengan jajanan dan makanan beraneka. Tak ada ruang yang tersisa, Bukan balok ataupun kubus melainkan manusia-manusia yang berurutan mencapai sisi luar. Terlihat dari sudut kelasku. Perut yang sudah enggan berkompromi memaksaku pergi kesana untuk sejenak memanjakannya dengan sedikit jajanan ringan atau mungkin makan berat. Banyak macamnya. Ya,setidaknya perutku terisi. Aku dan teman-teman bersegera menempati tempat bagian pojok kanan persis didepan kantin.

Makanan kantong pelajar akhirnya tiba. Semua dilahab habis. Mata kami kembali terang, bersemangat lagi. kemudian kami bergegas pergi .

Sebuah tempat yang rimbun. Dengan sekat-sekat  kukuh  membatasi lantai dua,satu.  Biasa kami singgahi seusai mengisi perut di kantin. Sudah menjadi sebuah kebiasaan kami untuk datang kesana untuk menghabiskan waktu istirahat. Pandangan kami merdeka hampir semua tempat dan aktifitas-aktifitas yang dilakukan para penghuni sekolah dapat terpantau . Aktifitas beragam, tempat-tempat untuk pembelajaran, ruang pemulihan, ruang pendidik dan lapangan terlihat dari posisi kami.  Lalu-lalang para siswa dan siswi menyita mata kami untuk memperhatikannya. 

  Tiga kali lagu yang sama diputar. Lagu Vidi Aldiano ‘Nuansa bening’  *ooooo...tiada yang hebat dan mempesona ketika kau lewat dihadapanku, Biasa saja. Oo..tiada kejutan pesona diri ketika ku jabat jemari tanganmu tak mau pergiiii....*  sambil bersenandung halus kami menikmatinya

Pria tinggi, kurus, pandangan tegap kedepan dengan rambut agak berponi itu lewat.

Setiap langkahnya memusatkanku kepada gerak-geriknya.

Sesekali aku berlagu tapi parasnya menyita waktuku . “siapa dia..?”  ucapku dalam diam.

Jalannya berarah sejajar dengan pintu gerbang namun di sisi ujung yang berlawanan sepertinya menjurus ke sebuah ruang  kelas ber-cat biru. Yang ku tahu itu adalah kelas dengan tingkatan yang sama dengan ku dan menjadi satu-satunya jajaran kelas tujuh yang berada di lantai satu, sementara kelas yang lainya tidak berada di situ. Selebihnya aku tak tau tentangnya.

Setelah pulang sekolah, entahlah, setiap geriknya selalu tercoreng difikir. Aku tak pernah mereka-reka tentang pria itu. Ia hinggap dengan sendirinya di paradigma yang statis. Namun, tetap dinamis dan bersebaran di seluruh penjuru fikir.

Usai semua setahun berakhir. Waktu berjalan dengan cepat, tanpa aku mengetahui hal lebih tentangnya. Namun masih sama saja. Badge yang semula berwarna kuning kini berganti menjadi biru. Beriringan dengan masa yang telah hilang, kemudian menguntai habis semua jeda, tak terasa terpikul 365 hari setelah massa orientasi itu dimulai. Mengantarkanku pada sebuah kelas baru. Dan teman yang teracak pula. Ada juga beberapa teman yang masih sama. Tapi tidak semua.

Hari pertama di kelas baru. 

Kelas baru, tingkatan baru. Tak terbayang aku harus beradaptasi lagi. Setelah waktuku berjalan dengan mereka di sana. Aku bergegas masuk kedalamnya.

Masa pertengahan yang akan kujalani setahun kedepan, akankah menyenangkan atau menjadi waktu yang sulit. Banyak rumor beredar masa kelas dua itu masa-masa yang berat. Ah akupun tak mengerti. Yang jelas mau tidak mau aku jalani.

Telihat samar dari sisi pintu. Sepertinya dia tidak asing. Tapiiiii.............(sambil mengingat-ingat). 

Benar itu pria tempo hari, fikirku.

Ia duduk di barisan ketiga dari meja guru bersama salah seorang temannya yang menjadi king angkatan 2008 . 

Aku duduk di bagian depan sebelah kanan bersama sahabatku. Miki namanya. Aku bersahabat dengan gadis berambut kriting itu, sejak aku masih dibangku kelas tiga Sekolah Dasar. Kami sering bercerita mulai dari hal yang penting hingga hal yang paling mendasar. Kami belajar bersama dan juga belajar bersama. Yaa... kami amat akrab.

Siswa di kelas sudah lengkap. Seorang wanita berusia sekitar 30 tahun. Dengan tahi lalat dipipi, berhijab itu memasuki kelas kami. Kondisi kelas yang semula ramai menjadi hening. Wanita itu memperkenalkan dirinya. 

Selamat siang, anak-anak. Perkenalkan saya wali kelas kalian. Panggil saja ibu Vi.

Wanita yang keseharian di rumahnya menjadi figur warga karena kebersihannya membuat kami kagum dengan beliau. Dia akan menjadi wali kelas kami di tingkat delapan ini.

Ibu Vi  mengabsen kami, mulai dari nama paling awal hingga akhir. Ketika salah satu nama di ucapkan. Pria itu mengangkat tangannya.

Sebelumnya aku belum pernah tau namanya. Bahkan tak terbesit untuk mencari tahu atau menanyakan tentang sosoknya. Tetapi tingkatan mempertemukan kami dalam satu kelas yang sama.

Hari-hari berjalan seperti biasa. Kelas kami kedatangan seorang anak baru. Berhidung mancung, berambut kriting, dan berparas Arab. Ia diantarkan wali kelas kami ke kelas.

“Silahkan, ini kelasmu”.

“terima kasih bu, sudah mengantarkan saya kesini”.

Wali kelas bergegas meninggalkan kelas. Kedatangannya membuat murid-murid terpusat ke dia dan menyambutnya.

Guru fisika yang kebetulan sedang mengajar mempersilahkannya masuk. lalu, mempersilahkan ia duduk. Yang sebelumnya perkenalan diri terlebih dahulu.

Dia memperkenalkan diri.

“Nama saya Rabwi, Saya pindahan dari SMP di Jakarta. Ada yang ingin ditanyakan?”. 

Muncul berbagai pertanyaan untuknya.

 “Rabwi nama kepanjangannya apa? “. Ucap salah seorang teman.

“Nama saya Rabwi aja”.

“Ooooooo.......namanya Rabwi aja”. Suasana kelas menjadi gaduh dan sibuk memper-soalkan nama itu.

“Rabwi aja, kenapa pindah ke sini?”. (Sebuah kota tapis berseri yang khas dengan kain tapis. Siger yang menjadi lambang provinsi itu. Kota yang mendapat julukan Indonesia mini. Karena budaya terlingkup di sana. Dan gajah yang menjadi simbol yang banyak diketahui orang)

“Rabwi aja,,,,, suku apa? Ada Arabnya yaa?”.

“Rabwi aja... Rabwi ajaa”. Siswa berebut bertanya.

Pertanyaan dijawab satu persatu.

“Saya pindah ke kesini  karena abi mendapat tugas di sini. Saya campuran Arab dan Betawi”.

“Ohiyaaaa nama saya cuma Rabwi yaa. Ga pake aja”. Di pertegas olehnya.

“OOOO..Cuma Rabwi berarti kita salah nangkap nama itu”.

Rabwi duduk di sebrang tempat dudukku. Dengan logat betawinya membuat dia sangat asyik diajak ngobrol.

Guru hitung-hitungan itu masuk kelas dan memberi tugas, Kami diberi  tugas kelompok. Lagi-lagi pelajaran berangka itu. Aku bukan tidak bisa hanya saja sedikit tak bersemangat melihatnya.  Untuk mengurangi ketidak minatan itu. Aku mengajak Miki dan Rabwi berkelompok. Mereka adalah teman yang asik dan cocok sebagai partner kelompok. Semenjak itu kami bertiga bersahabat. Kami membuat kesepakatan untuk memotivasi diri dalam akademik. 

“Gimana kalo kita buat kesepakatan dalam belajar?”.

“Hah, kesepakatan apa itu?”.

“Siapapun diantara kita bertiga yang mendapat nilai terendah akan dapet konsekuensi berupa hukuman”. Gimana setuju ga?

“Hukuman apa?”.

“Liat aja nanti, yang pasti suka-suka yang menang. Berani ga?”.

“Oke!  siapa takut, setuju”.

“yapsss, setejooo”.

“Oke deal ya”.

Perjanjian berlaku mulai hari itu. Dan memotivasiku untuk menjadi yang terbaik.

Bel berdering dua kali. Siswa-siswi mulai merapihkan bukunya lalu bergegas pulang ke rumah.

Aku berpapasan dengan pria itu.

“Heii.. Lo yang tadi di kelas VIII-1 kan?”. Sapa dia

“ee..hem..ii.yaaaa kita sekelas”.

Tangan kanannya terangkat dan berjabar di hadapanku. “kenalin,nama gua Kiki ” .

Aku sempat tercengang ketika ia mengulurkan tangan dan mengajakku berkenalan. 

“Iya, kenalin juga nama ku Kika ”.

“Nama lo Kika, wah nama kita cuma beda A dan I.

“ah, mungkin kebetulan”.

 Perbincangan tampak seru dan tak terkesan mebosankan itu menjunjukan kecocokan kami dalam berkata.  

by the way gua minta nomer ponsel lo, Boleh? Buat nanya soal tugas. Lagi pula kan kita sekelas jadi biar lebih mudah buat komunikasi”.

Sempat tercengang. Tapi, spontanitas bibirku menyebutkan sebelas angka itu.

“Okedeh. Thanks ya”. Ucapnya.

Entah mimpi atau nyata semua berlangsung begitu cepat. Aku sendiri tak bisa membedakan dan tak pernah membayanngkan akan hal itu. Dia membuat hari-hari yang semula tidak jauh lebih baik dari jenjang sebelumnya menjadi lawan arus. Semangat baru…!

Senja mulai menyelimuti langit. Awan menghilang dan berubah warna menjadi hitam. Bintang berjajar berbentuk Kepiting dan Ikan. Ponselku berdering. Dilayar ada 11 angka yang tak ku ketahui siapa pemanggilnya.

“Halo, Maaf siapa?”.

“Haiii, Ka. Ini gua Kiki”.

“Kiki.......?.” aku sempat berfikir dan memenggal telpon itu. Sambil mengingat-ingat Oh Kiki  yang tadi siang.

“Yaiyalaah….Kiki mana lagi. Gua mau nanya soal PR Matematika, Lo udah nomor berapa aja?”.

Gua udah nomor  Satu, empat, tujuh, sembilan, sepuluh”.

“Wah, Pas banget gua udah selesai nomor yang belom lo kerjain, Gimana kalo kita tukeran jawaban? Eee… tapi lo harus ajarin gua ya, gua gamau jadi orang yang ga berguna yang cuma bisa nyontek gitu aja tanpa ngerti. So ajarin ya, nanti gantian deh”.

Aku yang sebelumnya hanya terbiasa mengajari diriku sendiri. Sekarang ia memintaku untuk mengajarinya. Belum terbiasa mengajarkan orang lain. Untuk kali pertama aku mengajari seseorang. Bukan untuk diriku melainkan dia.

Pelajaran yang menglogikai logikaku berubah menjadi pelajaran yang mendasar, juga melekat. Tak sadar aku telah hanyut dengan angka-angka itu. Dunia ku berubah. Yaa mungkin karena dia. Atau karena angka. Atau lagi karena rasa. Dan kini matematika adalah sepenggal rasa yang membutuhkan perjuangan serta cara-cara yang tepat untuk dapat menyelesaikannya. Antara nyata, logika, tanda, dan huruf. Semua bercampur menjadi satu untuk mencari kunci, yaitu hasil.

Aku mencari tokoh-tokoh yang berkenaan dengan Angka. Kucari, lalu kubaca. 

Albert Einstein  kutemukan tokoh itu dalam sebuah buku yang tak begitu menarik di bagian covernya. Tapi mengandung isi yang luar biasa mengenai perjalanan hidup seseorang. Semua dipenuhi dengan angka. Kalau di bayangkan dari mana datangnya angka dan rumus. Akupun teringat dengan sosok Rene Descrates seorang filsof dari Prancis beliau adalah bapak Geometri pertama yang berfikiran berdasarkan rasionalitas dengan meragukan segala sesuatu. Dan itu matematika.  Otak ku tak akan sampai pada jawabannya, begitupun orang lain. Angka itu hadir sekejap dan merasuki duniaku.

Matematika percampuran antara rasa dan logika yang semula menggerutu diriku. Berubah menjadi hal yang amat menyenangkan. Angka yang tak dapat di selesaikan tanpa cara yang tepat dan hasil yang pasti tak bisa diubah-ubah. 

Begitu pun dengan hadirnya dia memberikan sesuatu yang berpengaruh di hidupku.

DeMikianlah kedengarannya Nampak tak asing lagi dalam batinku. 

Aku mencintai matematika karena Dia dan Mencintainya karena matematika.

Walaupun aku sadar aku tak mungkin bisa tanpa kemauan dan rasa ingin tau. Ah, yang ku tahu dia merupakan orang  yang membuat angka-angka itu jauh lebih hidup.

Tak sebatas itu seringkali kami bercerita tentang hal-hal lain. Dengan gaya bahasa yang menyebalkan itu seringkali membuatku sedikit tersentak untuk meMikirkan balasan pesan singkat darinya. Kaku, Lucu, Dingin, Cuek, Jaim, dan terkesan Cerdas itulah dia dan selalu ada tingkahnya yang membuatku yakin dialah orang yang tepat.

Malam-malam selanjutnya hari-hariku makin dipenuhi hal-hal yang berhubungan dengannya, atau mungkin dia yang menjela sebagai sosok yang menapaki indra. Cerita-cerita nya, pesannya dan kesan

Pesannya sampai di ponselku.

“Ka?”. Terlihat pada pesan pertamanya membuat perasaanku berubah secerah malam hari ini yang dipenuhi kerlip bintang yang terlihat sedikit mengumpat-ngumpat di atas sana.

“Kenapa, Ki?”. Ku balas pesan singkatnya dengan cepat.

“Coba lo liat ke langit, terus perhatiin di sana ada apa”.

 Ku kira dia akan menanyakan tentang angka itu lagi. Semua diluar perkiraan. Perbincangan kali ini kami tak membahas tentang matematika, pelajaran ataupun angka-angka lainnya. Aku sedikit bingung. Langsung saja aku melihat kearah luar dari teras rumah ku .

“Di langit cerah meskipun tak banyak bintang, Ki. Eh tapi cuma ada satu yang paling keliatan yang lainnya masih mengumpat dibalik bulan yang sendiri itu”. 

“Tau ga sih, bintang itu kan gua, Ka”.

Bagaimana mungkin dia yang tak berada tepat disampingku juga sampai bahkan menyelinap kelangit sana. Apa dia duniaku?. Aku mencoba menebak-nebak maksudnya.

“Hah?… lo aja ada dirumah yakali dilangit,Ki. Ada-ada aja sih”.

Tak lama kemudian pesan itu masuk dalam tempo sepuluh menit.

“Iya, Ka. Gua memang dirumah. Lo juga di rumah kan. Walaupun kita ditempat yang berbeda tapi kita bisa liat kelangit yang sama. Di sana ada satu bintang. Tapi suatu saat pasti bintang itu akan jadi dua. Kan lo yang satunya”.

Entahlah apa yang ia maksud malam itu. Pesan singkat yang masih saja terekam jelas di Logika ku.

Hal-hal mengenai perbintangan darinya, kembali menitihkan jejak. Bintang dan dia adalah dua hal yang berbeda namun sama terang. Tanpa mengelabui sudut yang bersembunyi. Tanpa menutupi maksud yang tak berarti. Putih atau biru yang selalu digambarkan para bocah-bocah pada sketsa. Aku tak begitu mengetahui pasti warnanya. Tapi yang jelas itu nyata. Ada seperti Aposteriori agendaku. Aku menyukai bintangnya juga bintangku.

Akhir semester di tingkat delapan itu berjalan dengan cepat. Nilai-nilai telah dibagikanRabwi mendapat peringkat satu sementara Miki dan aku peringkat dua, tiga. Rabwi menang. Ia akan memberi hukuman ke kami berupa jeweran sepuluh kali di lapangan. Tapi belum sempat terlaksana. Aku mendengar kabar bahwa Rabwi harus pindah. Kutanyakan langsung padanya

“Rab, Bener kamu mau pindah?”.

“Ah, tidak itu cuma kabar-kabar aja”. Ujar pria campuran Arab Betawi itu, entah kenapa Rabwi masih saja menutupinya dari aku dan Miki.

“Sudahlah Rab, ga perlu ditutupi lagi. Kami udah tau kok. Tapi kenapa hanya 12 bulan,kamu juga ga pernah bilang sesuatu ke kami. Kenapa kamu pindah, Rab?”.

“Ka, Miki. Maaf, bukannya mau menutupi tentang hal ini ke kalian. Hanya saja aku ga bermaksud membuat kalian sedih. Aku gak mau membuat perjanjian dan persahabatan yang kita bangun hilang. Meskipun aku pindah, kalian tetap menjadi sahabat-sahabatku”.

Begitupun sosok Rabwi yang menjadi sahabat pria pertama bagiku. Kini dia enyah entah kemana. Sebuah negeri yang menjadi tempat ibadah penyempurna rukun Islam.

Tingkat biru berganti menjadi Merah. Aku dan Miki disekat oleh kelas yang berlainan. Begitu pula aku dan Kiki dibatasi oleh tembok pembatas ruang.

Semua berbeda dan aku menapaki kisah lain. Kelas sembilan itu aku berkenalan dengan sosok pria lain yang membuatku mengubur perasaan kepada Antamatikaku, Kiki.

Enam bulan berjalan tanpa Kiki menyelimuti otakku. Pria itu membuatku tak begitu meMikirkan Kiki. 

Memasuki semester enam, setiap kelas dirombak lagi siswanyadibentuk kelas baru. Sebut saja kelas perkumpulan lima besar dari setiap kelas. Aku dan Kiki dipertemukan di kelas itu. Entah kenapa perasaan itu kembali mengguncang benakku. Perasaaan yang sama memenuhi labirin hati dengan frekuensi yang lebih. Mata itu, Matematik dan Antamatikaku hadir lagi. Semakin dekat. Tak hanya via ponsel melainkan secara langsung, semua kembali akankah hal yang telah kuusahakan untuk menguburnya selama enam bulan itu hadir lagi. Setiap pelajaran terutama matematika mempersatukan kami di satu meja yang sama. 

Tiga belas datang. Hari itu usianya bertambah. Ia menjemputku kerumahnya untuk merayakan pertambahan usianya bersama kerabat serta teman-teman. Ia mengantar ku kembali kerumah. 

Dia bilang. “Mau ga jadi guru buat gua. Yaa seandainya aja lo belom sama dia, kita bisa lebih akrab. Jauh dari sekarang”.

“Guru? Ah, ada-ada aja,Ki”. Tak pernah aku berfikir kesana. Bukankah dia yang menjadikanku selayaknya guru dan dia murid pertamaku, begitupun sebaliknya. 

Mungkin ini aku yang salah aku sudah memiliki pria lain tapi masih pergi dan mengharapkan bersama pria yang selalu bersembunyi di logika ku itu.

Beberapa hari kemudian sikap Kiki berubah. Lebih kaku. Dingin. Lalu menjauh. Perubahannya begitu tiba-tiba.

Tak terasa kami sampai di hari yang menetukan. Menutup lembaran kisahMasa-masa SMP. Masa yang mempertemukanku dengan dia yang pertama. Berakhirnya masa itu juga menutup segala cerita ku dengannya. Mungkin ya, mungkin tidak. Ah, entahlah. Semakin membisu. Aku pindah ke pulau yang berbeda. Meninggalkan kota cerita . Aku pindah ke sebuah pulau padat penduduk. 

Beberapa minggu di pulau asing ini. Aku mendapat telepon dari seseorang dan ibunya. Mereka menjelaskan sesuatu hal.

Pria itu menegembalikan memoriku yang sempat mengumpat. Cinta yang salah atau tak bertemu dengan orang yang tepat. Dia pria pindahan dari Lampung Barat. Putih, tinggi dengan mata sedikit sipit. Aku berkenalan dengannya disebuah ekstrakulikuler yang berlambangkan tunas kelapa.  Kami sama-sama melatih di sana. terkesan biasa pada jumpa pertama itu.

Sampai pada pengambilan nilai olahraga yaitu materi Renang. Dia menyapaku. 

Aku dan teman-teman duduk ditepi kolam sebelum pengambilan nilai. Aku terpeleset kedalam kolam yang kedalamannya tiga meter. Aku tak begitu pandai berenang. Spontanitas aku terjatuh di sana. Dia mengulurkan  tangannya lalu membantuku untuk naik ketepi. Itu kesan pertama dengannya.

Tak lama dari itu hubungan kami menjadi semakin dekat. Dia mengungkapkan perasaannya kepadaku. Namun, aku tak merespon. Sebab aku tak pernah berfikir untuk mencintai pria lain selain Kiki. Aku tak begitu menyeriusi perkataannya. Mungkin dia hanya main-main saja. Sebulan berlalu kudengar kabar dia jadian dengan sahabatku, Miki. Aku sangat terkejut mendengarnya. Secepat itukah?. Sebelumnya Miki telah bertanya tentang dia namun tak ku hiraukan. Sebab, aku tau Miki menyukainya. Aku tak menceritakan tentang pengungkapan perasaan darinya tempo hari kepada Miki, sebab aku tak mau menyakiti perasaan sahabatku. Hubungan mereka berjalan lima hari. Bahkan tak lebih lama dari pergantian minggu. Aku mendengarkan semua cerita tentangnya dari Miki. 

“Ka, gua putus sama dia”.

“Loh? Kok bisa?”. Pertanyaan konyol dariku yang biasa di sebutkan orang-orang ketika kaget mendengan sesuatu.

“Ka, Maafin gua, ya?”

“Kenapa minta maaf?’.

“Hubungan kami berakhir setelah gua tau kalo dia ga serius. Dia bilang dia sakit hati karena lo ga nganggep perasaan dia”.

“ah, Perasaan apa? Dia memang pernah bilang suka tapi gua ga begitu dengerin. Ya lo tau kan hati gua udah ada buat seseorang. Dan itu bukan dia”. (Panggil saja Pria itu Iyan)

“Iyaa, karena lo itu Cuma buka hati buat Kiki, jadi lo ga pernah sadar kalo ada pria lain yang sayang sama lo, Ka. Udah ga masalah lagi pula gua belum begitu ada rasa yang lebih dari sekedar suka ke dia. Ga masalah. Gua gamau persahabatan kita jadi keganggu cuma masalah COWO. Satu hal yang harus lo inget, jangan terlalu memperjuangkan satu hal dan mengabaikan yang lain ”.

Geram kurasakan setelah mendengar cerita darinya. Aku tak terima sahabatku menjadi korban. Tak berapalama setelah mereka putus, aku dengar Iyan mendapatkan pacar baru. Secapat itukah. Lagi dan lagi. Setelah dua bulan hubungan Iyan dengan pacarnya berakhir. Begitu juga dengan dua gadis lainnya. Iyan masih berusaha mendekati aku. Aku satu-satunya wanita yang tidak merespon dia. Karena ku tau dia.

Dia kembali mendekat, aku masih tak terima akan sikapnya ke Miki. Hal itu membuatku berpura-pura menanggapinya. Kami menjadi sangat akrab dan lebih dari itu. Sudah berjalan tiga bulan. Aku semakin mengenalnya, bahkan keluarganya. Dia mengenalkanku pada keluaganya. Begitupun aku. Aku yang semula berniat untuk membalaskan pelakuannya ke Miki menjadi bingung. Haruskah aku mengakhirinya kali pertama. Atau aku lanjutkan. Bumerang dan menjadi tanda tanya di sanubari.

Tanpa sepengetahuanku para mantan kekasihnya di sekolah ada empat orang. Mereka masih merasa sakit hati. Bel istirahat berdering. Aku dipanggil Miki kebelakang perpus. Ternyata di sana sudah menunggu gadis-gadis mantan kekasihnya. Aku tak mengira Miki juga sepakat dengan mereka. Aku tidak bermaksud untuk masuk ke dunia Iyan lebih jauh. Tapi aku juga tidak bisa menghindarinya. Lalu aku harus Bagaimana? Putus? Aku sudah begitu mengenal keluarganya. Ibu, Bapak, kaka, adik, tante, uyut dan semua bagian keluarganya. Dan kalung darinya yang bertuliskan namaku masih melingkar dileher. Apa yang harus ku katakan pada mereka. Perlaha ku tanggapi gadis-gadis itu dan ku jelaskan hal yang sebenarnya. Tetap saja mereka tak terima.

Ternyata ada salah seorang temanku yang melaporkan kejadian itu ke Bimbingan Konseling dengan tuduhan berkelahi. Yang sebenarnya tidak begitu. Untuk pertama kalinya aku berurusan dengan BK bukan untuk presetasi melainkan karena masalah yang sangat memalukan. Pria itu. Konyol.

Ketika cinta datang bahkan kita tak pernah membayangkan kerasionalitasannya.

Kabar yang kuterima dari ibu juga darinya adalah sesuatu yang tak bisa diterima logika. Keluarga kami berasal dari Lampung barat. Tetapi aku tak lahir di sana. Entah dari mana asalnya, yang pasti jalan tak mengizinkan kami bersama bukan karena dia menemui wanita lain. Melainkan adanya hubungan darah. Hubungan kami berakhir dibulan ke enam.

Pada waktu yang bersamaan aku mengetahui hal lain yang jauh lebih penting. Bukan tentang Iyan dan keluarganya lagi tapi tentang  Antamatikaku, Kiki. Tenyata benar. Kiki menjauhi ku karena pria yang mejadi pacar pertamaku itu menyuruhnya menjauh dariku. Yang membuat Kiki menjauh.

Tak  hadir lagi kedua pria di kehidupanku. Cinta pertamaku atau pacar pertamaku. Semua hilang. Jarak memang sangat menentukan. Di kota tapis itulah di abadikannya perjalanan dan kisah ku. Antamatika ku tertinggal di sana. Dan aku tetap mencintai matematika. Kali ini bukan karena dia. Melainkan kehadiran matematika yang abadi menemani hari-hari ku. Matematika yang menyenangkan dan lambang cinta ku untuk seseorang. Banjaran kata yang tak sempat diucapkanku jarak dan waktu telah memenggal kisah kami. Diwakilkan dengan angka yang selalu menunggu hasil yang pasti di akhir. Entahlah sampai kapan. 

“Yang pasti Aku mencintaimu sama halnya bahkan lebih dari aku mencintai Matematika”

Sebut saja Antamatika yang artinya Kamu Matematika.

2014

 

 

 

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sastra Indonesia Angkatan 70'an

Makalah Penelitian Keterbacaan

Duta Universitas Negeri Jakarta