KEPOMPONG
Hidup
ini ibarat daun dan kita adalah kepompong, dua bagian yang bergantung satu sama
lain. Kepompong rekat melekat sepanjang hayat untuk bertahan pada ranting dan
dahannya. Ketika ia singgah, daunlah temannya. Melindungi dirinya dari terik,
menutupi dari goncangan angin, menopang saat hujan dan menghangatkan ketika
malam.
Ia memang sendiri, tapi jiwanya terasa ramai,
sebab sejatinya didunia ini kita tak akan pernah merasa benar-benar kesepian
ketika hati penuh kedamaian dan keikhlasan. Sebuah metamorfosa dalam dirinya
terus berlanjut, menghantarkannya pada perubahan demi perubahan, cangkangnya
mulai terbuka, satu-persatu kulit yang memeluknya pun mengelupas. Ya, setengah
bagian dari dirinya hilang, ia tidak lagi dibedong hangat, bahkan separuh
tubuhnya mulai belajar membaur dengan alam, sementara bagian yang lain masih
terperangkap lekat tidak bergerak.
Ia mulai bertanya-tanya, ia bercerita pada
daun tentang sebuah peristiwa yang dialaminya, ia menangis dan berkata “Aku tak
lagi sepenuhnya aku, aku mengalami perubahan-perubahan yang jauh dari yang aku
bayangkan, aku kehilangan cangkang, sebagian kakiku merekah juga tubuhku mulai
lepas, aku pikir aku akan selamanya hidup denganmu, menetap di sini dan sepanjang
hayat di dalam rumah bersama kau juga seisinya”.
Lalu
daun menjawab: “Aku senang kau berada di sini, bersamaku sepanjang hari,
menghabiskan waktu dan menempa hidupmu bersama hari yang panjang. Saat ada
kamu, rasanya hidupku tidak pernah merasa sepi, kita menyaksikan terbit dan
tenggelamnya matahari, menghitung banyaknya bintang yang bertebaran dilangit,
melewati guncangan angin saat hujan menerjang, lebih jauh lagi selalu ada saja
lelucon-lelucon lucu yang kita perbincangkan, entah itu tentang gagak yang
terbang maupun tentang tanah lekat yang sejatinya tak pernah kita injak.”
“Kau
benar daun, semua itu membuatku enggan beranjak. Mengingatkan aku untuk menarik
memori berkepanjangan lebih dari jutaan detik lamanya. Bisakah kita seperti ini
saja?.”
“Ketahuilah
kepompong, dari teduh rasa yang paling jauh. Aku ingin selalu seperti ini,
namun hidup ini bermetamorfosa, realitas pun berubah. Terkadang, kita perlu
keluar dari zona nyaman, untuk sekadar bertandang ketempat lain, menikmati padi
menguning dilahan lahan berbeda, kita butuh suasana baru walau sejatinya kita
tidak ingin. Sudahlah, Perjalananmu masih panjang. Sesaat lagi kau akan meretas
batas lebih tinggi dengan kedua sayap. Kau tidak bisa lagi bergantung di dahan
ini, barang kali esok atau lusa daunku pun sudah gugur. Kamu harus banyak
belajar tentang hidup dan menerima banyak perubahan. Carilah tempat ternyaman,
suatu singgah untuk mu kelak kembali tanpa paksaan dan menghabisakan waktu
dengan penuh kedamaian, tanpa resah tanpa berkelu kesah dalam kebimbangan.”
Beberapa
hari kemudian, seisi tubuhnya mengelupas, cangkangnya kini benar-benar hilang. Ia
tidak lagi melekat, ia telah
bermetamorfosa dan belajar untuk
terbang. Memang mulanya ia jatuh, tapi bukankah kita memang harus banyak
berlatih dahulu? Jangan sungkan untuk menikmati prosesnya, abadikan waktumu
dengan kesan-kesan indah dan habiskan kegagalan sebelum kamu benar-benar siap
terbang tinggi meretas batas melawan segala keterbatasan.
Berdamailah
dengan hati :)
Komentar
Posting Komentar