KEYRA DAN IBU CIPTAANNYA




Pukul satu malam Keira selalu melakukan ritual rutin. Sepanjang hari ia menghabiskan waktunya untuk tidur, makan tanpa beranjak dari rumahnya. Kira-kira kehidupan tanpa memoar itulah yang dijalani Keyra selama dua minggu belakangan.
“Aku suka hidupku bebapa hari ini, menghabiskan waktu, berlama lama menikmati hening sambil meghirup udara kosong diruangan. Sesungguhnya aku lebih suka lagi menjalani hidup tanpa  kehidupan: tenang, damai, tanpa paksaan, tanpa memikirkan banyak pertimbangan. Di sudut kamar depan jendela dan disamping rak buku-buku, itulah tempat kesukaanku untuk membiasakan diri belajar manerima hal-hal yang tidak bisa aku terima. Terkadang ketika aku tidak mengerti, aku menyangkal ketidaktahuanku untuk mencari-cari, entah untuk menemukan hal-hal konyol atau sekadar mengintai sesuatu yang tidak pernah aku ketahui. Akupun tertawa, namun bukan dikarnakan oleh sesuatu yang lucu, tidak, sungguh terkadang bukan karena itu. Aku menertawakan dalam-dalam tentang keanehan yang tidak aneh dimataku, belajar ikut melucu untuk sekadar menyantap cerita-cerita humor yang diperbincangkan banyak orang, yang menurutku tidak. Aku menyuarakan resahku dengan melafaklan diksi-diksi pada sepenggal rindu dan omong-omong perihal keramaian. Senja itu menarik, tapi menurutku lebih menarik menikmati secangkir teh susu hangat di bawah pohon sambil melihat jalanan tanpa kebisingan, tanpa perbatasan.
Aku suka melihat kau tersenyum, rasanya seperti belajar menikmati waktu yang teduh dengan berbagai warna disekelilingnya, kau putarkan lagu dan tuturan kata dari sudut seni yang tidak sama dari apa yang aku bayangkan. Mulanya aku pikir segala yang sama akan membuat kita mudah menjangkau peta-peta tanpa harus bersusah payah melewati wacana-wacana abstrak tentang hal-hal lain. Ternyata tidak juga, aku pun tidak tahu tentang dan tidak mengerti tentang definisi beda yang sesungguhnya, aku hanya menikmati ribuan detikku yang lazim, ketika kau disisiku. Kita tidak beranjak dari ketidakhampaan yang sesungguhnya, kita meletakan batu pertama manasuka tanpa tahu darimana kita mulai membangun, seperti apa bangunannya dan sampai dimana kefantasian bentuknya. Aku jatuh cinta pada segala yang rupa-rupa, melalui reruntuk semesta tanpa membatasi antara kebenaran, kesalahan maupun ketidakanganan.
Pukul satu pun tiba, entah orang menyebutnya malam ataupun pagi yang baru diwaktu yang berbeda. Aku dengarkan kicau jangkrik yang berceloteh, tokek yang sibuk bernyanyi sambil mengendap dari dalam pohon, meloncat riang walau tanpa keramaian. Dari sisi pojok kamarku, aku melihat langit dari sudut simetris, memusatkan sudut dari jangka terujung hingga bagian yang tak kasat mata. Di sana aku menyaksikan Jupiter dengan segala keluasannya, ia tetap menjadi yang terluas  tanpa harus berganti diri, ia bertahan pada kecerahannya meski didampingi 17 satelit lainnya.
Musim telah berlalu, yang hilang pun telah berganti. Memang benar, kita tidak akan menemukan segala sesuatu menyerupai, sama atau benar-benar sama: tidak akan. Bahkan dua puluh empat jam setiap hari pun berganti berotasi meski behimbun pada waktu yang menetap: 86.400 detik waktu yang hilang setiap harinya telah menjangkau keluluhpadanan yang berjiwa. Semua yang hidup, hanyalah ingatan bumi dengan segala pijakan yang nyata, sementara kita adalah insan Tuhan pencipta Imajinasinya sendiri. Ibu dari semua ibu yang terlahir didunia. Pikirian melampaui batas ketidaktahuan, keingintahuan hingga semua yang diketahui, ia meretas batas pada tubuh dan ruh di akal dan hati manusia. Aku berfikir: Maka aku ada.

Riska Yuvista

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sastra Indonesia Angkatan 70'an

Makalah Penelitian Keterbacaan

Duta Universitas Negeri Jakarta