Perkembangan Pendidikan Dari Masa Ke Masa

Hentikan Komersialisme Pendidikan

Merdeka itu tidak hanya berarti bebas lepasnya seseorang dari kekuasaan orang lain, tapi juga berarti kuat dan mampu mandiri sendiri – Ki Hadjar Dewantara

Privatisasi dan liberalisme pendidikan ini, yang salah satunya ditampilkan oleh RUU/UU BHP maupun RSBI ( Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional ).  Kapitalisasi, privatisasi, dan liberalisasi sektor pendidikan melalui UU BHP –serta peraturan-peraturan lain yang mengikutinya  -  dan RSBI itu kelak  akan mengantarkan bangsa Indonesia ke dalam jurang kehancuran untuk selamanya, karena sumber daya alam akan habis, tapi disisi lain warga Indonesia tidak pintar, sehingga menjadi warga terjajah selamanya.
Pendidikan nasional dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi tiba-tiba mengalami gejala kapitalisasi, privatisasi, dan liberalisasi paska reformasi politik dimulai 21 Mei 1998 bersamaan dengan kejatuhan rezim Soeharto. Pada masa jabatannya Soeharto membentuk Kabinet Pembangunan Pertama sebagai tugas pertamanya sebagai presiden dan sebagai pembeda dari kabinet-kabinet sebelumnya yang menekankan berbagai aspek rekayasa sosisal yang berorientasi ideologi. Pemerintahan orde baru yang dipimpin Soeharto mengedepankan moto “membangun manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia”.
Gerakan kearah kapitalisasi, privatisasi, dan liberalisasi pendidikan itu tidak mudah terbaca oleh publik karena menumpang pada gerakan demokratisasi yang sedang diusung oleh para aktivis pro-demokrasi, sehingga kesannya selalu baik. Implikasi negative dari berkurangnya campur tangan pemerintah tersebut tidak pernah disebutkan kepada publik, padahal, dampak negatifnya jauh lebih buruk karena pendidikan tak lagi ditempatkan sebagai hak dasar yang dimiliki warga dan Negara wajib memenuhinya, melainkan menjadi barang komoditas. Itu bukan tanpa kesengajaan, melainkan dilakukan dengan penuh kesadaran oleh kaki tangan WTO (World Trade Organization) dalam bidang pendidikan telah menjadikan pendidikan sebagai komoditas yang dapat diperjual-belikan dan Bretton Woods, seperti Bank Dunia serta IMF (International Monetary Fund). Mereka memanfaatkan momentum penjadwalan ulang utang luar negeri  yang telah jatuh tempo dan hanya dapat dilakukan dengan syarat negara yang bersangkutan harus menerapkan kebijakan penyesuaian structural (SAP=Structural Adjustmen Policies) yang disusun oleh institusi-institusi di Washington.
Pada tingkat perguruan tinggi, awal liberalisasi pen-didikan itu dimulai dengan privatisasi yang mengacu pada pengertian bidang perekonomian, yaitu menyerahkan pengelolaan (pendidikan) kepada pihak swasta, bukan pemerintah sebagai pelaku utamanya dan sebagai proses gradual  untuk mentransformasikan metode pengelolaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan kekayaan publik lainnya agar dapat secara sehat berkompetisi dengan sector swasta. Konsekuensi dari privatisasi itu adalah subsidi untuk PT BMHN berkurang atau tetap, tapi perguruan tinggi (PT) yang bersangkutan dituntut untuk meningkatkan kualitas dan pelayanannya kepada mahasiswa. Akibatnya, mau tidak mau pimpinan PT yang bersangkutan memobilisasi pencarian dana dari banyak sumber, dan salah satunya yang paling mudah adalah dari mahasiswa. Maka sejak muncul kebijakan BHMN, SPP di semua PTN terkemuka itu terus naik secara signifikan setiap tahunnya (rata-rata diatas 25%) dan dkembangkan teknik-teknik penerimaan mahasiswa baru yang melegitimasi pungutan besar. Substansi yang menonjol dari UU BHP adalah pengelolaan pendidikan oleh suatu badan hukum pendidikan (BHP) atau dengan kata lain diprivatisasi, karena negara tidak lagi bertanggung jawab sepenuhnya pada pendanaan pendidikan serta menekankanan pada pilihan menuju reseach university dan world class university.
Pada tingkat SD-SMTA, kecanderungan liberaliasi ditandai dengan pelaksanaan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah) yang implementasi di lapangannya ditandai dengan pembentukan Komite Sekolah yang kerap kali dijadikan sebagai tameng bagi Pemerintah/Pemda untuk menghadapi tutunan masyarakat terhadap pebaikan layanan pendidikan dan menyangkut besaran pungutan dana. Liberalisasi pendidikan di tingkat SD-SMTA it juga ditandai dengan munculnya konsep RSBI (Rintisan Sekolah Berstandar Internasional) yang tercermin dari Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No. 78 Tahun 2009  tantang Penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Sekolah Berstandar Internasional yang selanjutnya disingkat SBI adalah sekolah yang memenuhi standar nasional pendidikan dan diperkaya dengan mutu tertentu yang berasal  dari negara-negara OECD (Organization for Economic Cooperation and Developmen) atau negara maju lainnya. Tujuannya adalah untuk meningkatkan daya saing, salah satunya dibuktikan dengan perolehan mendali emas, perak, perunggu, dan bentuk penghargaan internasional lainnya.
Marakya Neoliberalisme pendidikan dengan pengurangan peranan negara dalam pembiayaan pendidikan disekolah negeri disatu pihak dan melakukan pemindahan peranan perusahaan di lain pihak atau juga disebut budaya korporasi atau budaya bisnis tidak lepas dari pengaruh globalisasi yang menimbulkan perdebatan, baik sebagi konsep, cakupan, maupun keunikan fenomenanya.
James Petras, melihat bahwa neoliberalisme itu muncul karena adanya kolaborasi antar kelas penguasa nasional dengan orang kaya dan penguasa. Mereka berkolaborasi dengan kepentingan yang sama, penguasa mengharapkan kontribusi penguasa untuk menjamin stabilitas kekuasaannya, sedangkan pengusaha mengharapkan restu dan  dukungan dari penguasauntuk mempertahankan bisnisnya. (Dharmaningtyas:28).
Berbagai instrument diciptakan oleh OECD maupun anggotanya sebagai dasar untuk dapat intervensi ke negara-negara WTO dalam sector pendidikan, salah satunya adalah tes PISA (Programme for International Student Assesment) adalah studi internasional tentang kemampuan literasi membaca,matematika, dan sains untuk murid sekolah berusia 15 tahun, yang diselenggarakan setiap tiga tahun sekali,  TIMSS (Trends in International Mathematics and Science Study) merupakan tes untuk mengukur tingkat pencapaian dalam bidang matematika dan sains pada tingkat empat dan delapan dalam konteks internasional, and PIRLS (Progress in International Reading Literacy Study) merupakan studi internasional mengenai literasi membaca untuk siswa sekolah dasar. Indonesia termasuk salah satu negara yang menanda-tangani pembentukan WTO dan GATS, konsekuensinya Indonesia harus tunduk pada ketentuan-ketentuan WTO/GATS ini dalam meliberalisasi banyak sector termasuk pendidikan.
Beberapa perguruan pendidikan tersebut menerapkan sistem yang di adopsi dari perguruan tinggi di luar negeri. Sementara penerapan pendidikan di indonesia tidak setara atau belum mencapai standar pendidikan tersebut. Sehingga menimbulkan pro dan kontra, seperti dalam penerapan standar pendidikan. Berdasarkan hasil PISA, hampir semua siswa indonesia hanya hanya menguasai pelajaran hingga level 3 saja, sementara negara lain banyak yang mencapai level 4,5,6. Dengan keyakinan bahwa semua manusia di ciptakan sama, interpretasi dari hasil ini kita hanya diajarkan berbeda dengan tuntunan zaman sehingga butuh penyesuaian kurikulum. Demikian pula dengan hasil TIMSS dan PIRLS, lebih dari 95% siswa Indonesia hanya mampu mencapai level menengah, sementara hampir 50% Siswa Taiwan mampu mencapai level tinggi dan advance.  Dengan keyakinan bahwa setiap anak dilahirkan sama, kesimpulan dari hasil ini adalah yang di ajarkan di indonesia berbeda dengan yang diujikan [di standarkan] Internasional (Dharmaningtyas:110).
Menyadari bahaya UU BHP terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara di masa mendatang dengan mengetahui bahaya liberalisasi pendidikan tersebut, diharapkan masyarakat akan ramai-ramai menolak praktek liberalisasi pendidikan. Penolakan dapat dilakukan dengan melakukan berbagai cara, seperti misalnya pembangkangan sipil dengan tidak mau melaksanakan aturan liberalisasi listrik, uji materi (judicial review) ke Makamah Konstitusi (MK), maupun memilih keluar sistem.  Riska Yuvista

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sastra Indonesia Angkatan 70'an

Makalah Penelitian Keterbacaan

Duta Universitas Negeri Jakarta