ALETRA





Aku sudah melewati gurun, mendaki gunung, menyeberangi sungai, laut, dan berputar pada gang-gang setiap harinya, ku telusuri setiap jalan tanpa memutus kapan harus berlabuh tanpa mengenal redup maupun terik, terkadang aku berjalan  tak jarang pula aku berlari-lari ringan untuk memastikan kejadian-kejadian apa yang akan aku temukan di ujung jalan.
Kuputar ingatanku satu tahun kebelakang, sesuatu yang sama pun dapat terlihat beda karena setiap dari kita terlahir dari benih-benih yang berbeda. Terlebih ketika aku menjalani beda pada satu diagonal untuk mencapai misi yang sama, mas. Di sana aku mengenalmu satu tahun yang lalu dipertengahan tahun, awal bulan kelahiranku.
Pelayan itu pun datang mengantarkan secangkir susu dan sepiring roti bakar manis, yang semenarik mungkin diatas meja untuk dinikmati. Awalnya hanya coba-coba, memilah banyak menu lainnya, akupun  hanyut di dalam aroma dan rasa, ku pilih satu menu paling ciamik dan aku jatuh  di setiap sajiannya. Aku suka warna biru bajumu, aku juga suka melihat senyumu, itu saja. Kau tahu, aku tak bisa mengendalikan debar yang beredar , bising jalan berlalu lalang di malam minggu pun suara insan disekitar kita
. Kedai susu, iyaaa di Kedai ini  kali pertama kita berjumpa, Mas. Di sini masih sama, penuh dengan pengunjung, lampu-lampu malam disepanjang trotoar dan lapak-lapak pedagang di pekarangan. Lalu kupesan menu yang sama, namun rasanya tak lagi sama, Jalan ini semakin berdebu, panas dan tidak berjarak. Pedagang-pedagang itu pun satu persatu tergusur, lebih-lebih bangunan-bangunan di depan mata semakin menjulang.
Ku teguk perlahan segelas susu murni yang disajikan oleh pelayan yang sama, rasanya masih hambar seperti dulu tapi kali ini berbeda, tak ada lagi sensasi kemurnian dari minuman itu, tak kurasakan sensasinya dan tidak pula aku menemukan gelutan pekat yang menagih disekujur lidahku.

Tentang Letra
Letra, gadis belia dengan usia yang hampir saja sampai dikepala dua., diantara teman-teman usiaku tergolong paling muda. Aku tinggal di Pulau dengan jutaan penduduk yang menjadi pusat negara dan lahir di sebuah kota Sebrang Pulau Jawa, mereka biasa menyebutnya dengan Kota Tapis Berseri, seasri rimbunan daun dan kehijauan jalan dengan patung-patung gajah juga air mancurnya. Kota itu nyaman nan teduh sama seperti julukannya “Berseri” sebelum banyaknya persaingan antar provinsi yang memenggal lahan-lahan kosong, pekarangan bunga dan digantikan dengan keramik-keramik khas dan gelantungan pembangun pusat kota.
Aku suka makanan-makanan pedas dan tidak telalu menyukai rasa manis, diantaranya pun butuh rasa-rasa asin sebagai pelengkap. Aku suka musik, tapi aku lebih suka menulis. Bagiku menulis adalah sebuah keabadian, sebuah ketulusan dan sebuah kejujuran, dengan menulis aku dapat mendeskripsikan apapun yang sukar untuk diceritakan, dengan menulis aku dapat menciptakan dunia, mengolah rasa dan menuturkan maksud juga membangun sebuah keabadian yang tidak akan mati bersama penciptanya dan dengan tulisan pula aku dapat membungkam apa yang bukan bagian dari aku yang seringkali disebut-sebut sebagai aku, walaupun terkadang aku tidak tahu bagaimana cara menghasilkan tulisan-tulisan yang baik.
Banyak orang yang menerka-nerka tentang bagian dari diri orang lain, mengedepankan opini-opini dibalik sisi-sisi ketidaktahuan untuk mengotak-atik paradigma dan membuat mereka yang belum mengenal menjadi tahu, bisa jadi benar-benar tahu dan bisa juga tak benar-benar tahu. Semua hanya menjadi sebuat kerelativitasan tentatif yang bisa saja berubah-ubah mengikuti musim-musim dan bersifat temporer. Aku hanyalah sebagian dari apa yang aku tahu, aku ingin tahu dan yang aku impikan, tanpa bermaksud  memasang wajah-wajah lain untuk sekadar digandrungi dengan simpatisan sekitar. Aku tidak bisa menciptakan dunia-dunia lain di pikiranku, aku lebih menyukai hal-hal realistis, toh dunia ini pun sempit dan sedangkal pemikiran orang-orang yang terintermezo oleh surat kabar, media sebelum mengetahui kebenarannya.
Kita hidup dikota yang sama dengan menu-menu yang tidak jauh berbeda, hanya tinggal bagaimana kita mengemas dan mengreasikan olahan seciamik mungkin yang dijual dengan harga setinggi-tingginya. Namun, semua menjadi tidak berguna ketika pesanan-pesanan tadi hanyalah kompetisi yang semata-mata mengicar siapa yang terbaik dan mengucilkan siapa yang dianggap tidak bermutu. Yang kita butuhkan sebenarnya hanyalah sebuah pengakuan dengan ketulusan berkelanjutan dan bukan sekadar memuji sesaat untuk singgah di kafe-kafe ternama dan diposting dimedia sosial kemudian menyisakan banyak penyesalan yang pada akhirnya kita tidak punya apa-apa.
Kompetisi semakin marak, pekerjaan dianggap kompetisi, investasi dianggap kompetisi, sampai-sampai tubuhmu pun dianggap kompetisi. Lantas dimana aku bisa menemukan ketulusan yang tak dianggap kompetisi. Aku tidak akan membahas perihal kekejaman dunia dan tidak juga akan membahas siapa pemenang dan yang akan menjadi juara diantara peserta lomba.
Kawan dianggap lawan, lawan dijauhkan, yang buruk dibenarkan, yang tulus dianggap bohong, yang malu dibilang tidak bisa apa-apa, yang percaya diri dibilang berambisi, yang mampu dianggap sombong, yang belajar disebut lamban dan yang serius dibilang asik sendiri. Semua menjadi serbasalah, semua tidak terdefinisi dan semua hanya berdasarkan asumsi. Kita bisa saja gila dan menjadi manusia-manusia yang tak tahu siapa diri kita apabila hanya mendengarkan cibiran-cibiran orang lain, bukan bermaksud untuk tidak peduli dengan ungkapan tersebut, terkadang kita juga butuh untuk meyakinkan dan lebih mengenal diri kita tanpa perlu menggubris anggapan-anggapan orang lain, sebab kita mempunyai impian dan target hidup masing-masing tanpa perlu mengurusi hidup orang lain.
---
Kami berjalan dengan waktu, kami tau bahwa tiada yang benar-benar sama dan kami pun paham bahwa yang beda selamanya pun akan berjarak. Sesekali kami coba menerka takdir, berjalan berdampingan layaknya sepatu yang searah walaupun keduanya tidak akan melangkah ke arah sama dalam waktu yang bersamaan.
Kami sadar bahwa kami tak akan mungkin megucap kata aamiin dalam satu Sajadah dan kami tahu bahwa maha pencipta juga tak mengizinkannya.
Sesekali kami bertukar cerita tentang yang ia yakini, pun tentang yang aku jalani. Tak jarang ia menantiku didepan masjid, mengingatkan berpuasa dan menutunku agar tak pernah lepas dari yang kuasa.  Setiap minggu pun ia menuju Tuhan-nya, memohon do’a pada Yesus pun Bunda Maria. Tapi kami hanyalah manusia yang mencoba bernegosiasi pada takdir, kami semogakan apa yang kami harapkan.
 Sebab waktu adalah milik kita yang tak jera pada malam-malam penantian yang ku titipkan dihatimu dan masa depan kita. Jika boleh aku memilih, biarkan rindu ini menghujam jantung dan bersemayam menjadi benih yang akan kau kenang kemudian, juga rasaku yang belum menemukan jati diri. Bukan aku tak menghendakimu, bukan. Aku hanya takut menjadi batas-batas buku seperti yang aku sematkan pada buku-bukumu hari-hari kemarin, aku tak ingin hanya menjadi tinta-tinta yang akan memudar tergerus hujan dan lapuk bersama jilitan kertas yang hidup dalam koleksimu. Biarlah aksara ini abadi selamanya dalam maut dan tak luput pada petaka yang bermuara pada kebahagian sesungguhnya, hati. Iya di sanalah tempat kita bernaung kemudian, taman termasyur dan firdaus ternikmat, sayang. Aku pamit, bukan untuk melarikan diri dan bukan pula untuk menggonggong menemukan tuan yang hendak memeliharaku. Berpetualanglah, Letra. Salam terkasih dari penjelajah
Aku sadar, bahwa tiada yang benar-benar sama, semua akan berbeda, entah dengan siapa, kapan dan bagaimana prosesnya . Pergilah bersama ia yang se Aamiin dalam do’amu. Kita memulai atas izinnya dan berakhir pun karena kehendaknya, titip salamku untuk ibumu : ia memang benar, bahwa tak mungkin kita memaksakan sesuatu yang dari awal kita tahu ini tidak sejalan.
Satu tahu lalu sudah berakhir, aku sudah mencoba menemukanmu dengan yang lain, terlihat bodoh dan terkesan bermain-main hanya untuk menyembunyikan rindu serupa yang ku tau sudah tak mungkin sampai padamu dalam nyata, pun dalam doa pun sudah tidak bisa. Hingga saat ini aku sadari bahwa memulai takan pernah terjadi selama hati belum sepenuhnya kembali.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sastra Indonesia Angkatan 70'an

Makalah Penelitian Keterbacaan

Duta Universitas Negeri Jakarta