Sastra Indonesia Angkatan 70'an


SASTRA INDONESIA ANGKATAN ‘70
Fitriana Hasri        
Nita Oktaviya                                  
Riska Yuvista





A.    Latar Belakang Munculnya Sastra Indonesia Periode 70-an

Angkatan 70 dalam sastra Indonesia adalah angkatan pembawa sastra baru dengan corak yang berbeda dari angkatan sebelumnya. Angkatan 70-an diberi nama oleh Abdul Hadi W.M, dan Dami N. Toda. Dalam angkatan ini ada beberapa sastrawan yang membawa corak baru terhadap sastra Indonesia seperti Sutardji Calzoum Bachri yang mengenalkan puisi bercorak baru terhadap sastra Indonesia yaitu puisi mantra.
            Lahirnya angkatan ini di karenakan oleh anggapan sastrawan angkatan 70 terhadap karya-karya angkatan 66 yang tidak maju atau hanya berbasis untuk melawan pemerintahan. Pada angkatan 66, ciri khas sastra adalah protes sosial yang sejalan dengan marak-maraknya perlawanan publik terhadap kekuasaan yang mengalami krisis kepercayaan setelah terjadi September 1965, pada masa ini pula disebut sebagai masa pemapanan menurut versi Yudiono KS (Pengantar Sejarah Sastra Indonesia).
            Angkatan 66 terlahir bermula dengan artikel HB Jassin yang dimuat di majalah Horison yang memperjelas bahwa kehadirannya adalah suatu peristiwa politik anti-tirani, menggerakkan keadilan dan kebenaran. Kelahiran Angkatan 66 adalah klimaks perlawanan tirani, berbeda dalam dunia kesusastraan yang mewujudkannya melalui karya-karya yang bernuansa politik. Hal ini dilihat dari beberapa karya sastra yang berupa puisi, prosa, drama, cerpen, dan novel.
            Karya-karya perlawanan yang ada pada angkatan 66 ditandai oleh pengakuan Taufik Ismail dalam buku Tirani dan Benteng terbitan Yayasan Ananda Jakarta (1933). Taufik Ismail adalah sastrawan yang mempelopori puisi-puisi demonstrasi pada angkatan 66, hal ini menandakan suatu kebangkitan angkatan 66 dalam dunia perpuisian.
            Dengan banyaknya karya-karya sastra yang bertujuan untuk menjatuhkan pemerintahan atau pergolakan, sastrawan membuat angkatan 70  dengan membawa pergeseran sikap berpikir yang baru. Pada tahun 1970-an berkembang anggapan bahwa kemunculan pengarang di Majalah Horison merupakan tolak ukur prestasi kepengarangan sehingga hal ini wajar jika angkatan 70 menandakan adanya pergeseran sikap berfikir dan bertindak dalam menghasilkan wawasan estetik dalam menghasilkan karya sastra bercorak baru baik di bidang puisi, prosa maupun drama. Majalah Horison dapat dijadikan inspirasi bagi peneliti dan kritikus yang berminat “membongkar” khazanah sastra Horison sebagai majalah sastra yang dipandang berwibawa pada tahun 1970-an yang merupakan prestasi tersendiri, lebih-lebih Horison diterbitkan di tengah suasana sosial dan politik yang masih penuh gejolak tragedi politik 30 September 1965 dengan  tiga kategori aspek sosial, yaitu (1) masalah G.30.S yang didalamnya tercatat drama Taufiq Ismail “Langit Hitam” cerpen Satyagraha Hoerip “Pada Titik Kulminasi”, cerpen Gerson Poyk “Perempuan dan anak-anaknya” dan cerpen B. Soelarto “Subul Khotimah”., (2) masalah Orde Lama didalamnya tercatat cerpen Mochtar Lubis “Kuburan Keramat” dan “Sebuah Sketsa dari Penjara”, cerpen B.Soelarto “Tragedi Kecil” dan “Sahabat John” , dan (3) masalah angkatan 66 tercatat sajak-sajak Wahid Situmeang, Slamet Sukirnanto, Trisno Sumardjo, Horo Rambadeta, Surachman R.M, Arifin C. Noer, dan cerpen Bur Rusuanto “Malam Berkabung”. Ternyata di balik kewibawaan itu Horison harus berjuang keras “menghidupi” dirinya sendiri dengan akibat perkembanganya terbilang lamban.
            Dalam periode 70-an pengarang berusaha melakukan eksperimen untuk mencoba batas-batas beberapa kemungkinan bentuk, baik prosa, puisi yatu mulai ada puisi kontemporer atau puisi selindro, maupun drama yaitu dengan menulis dan mempertunjukkan drama yang absurd atau tidak masuk akal. Misalnya prosa dalam bentuk cerpen, pengarang sudah mulai berani mebuat cerpen dengan panjang 1-2 kalimat saja sehingga terlihat seperti bentuk sajak. Semuanya semakin tidak jelas.
            Terlepas dari hal tersebut perkembangan sastra Indonesia priode 70-an maju pesat, karena banyak penerbitan yang muncul dan bebas menampilkan hasil karyanya dalam berbagai bentuk. Misalnya dalam bidang puisi, Sutarji dianggap salah satu tokoh periode 70-an dalam sastra Indonesia. Tahun 1979 menerima hadiah sastra dari ASEAN karena Sutarji telah menampikan corak baru dalam kesusasteraan Indonesia dengan cenderung membebaskan kata dalam membangkitkan kembali wawasan estetik mantra yang sangat menekankan pada magic kata-kata yang kemudian melahirkannya dalam wujud impovisasi.

B.     Peristiwa-Peristiwa Besar
Pada periode ini tercatat beberapa peristiwa penting, antara lain:
  1. Pada tahun 1970, H. B. Jassin diadili. Majalah yang dipimpinnya dituduh memuat cerita pendek yang menghina agama Islam.
Sejak terbitnya majalah Sastra yang diterbitkan pada 1 Mei 1961, majalah Horison sudah tidak mengalami kemujuran meskipun semangat redaksinya tidak terlepas dari nama HB Jassin. Penerbitannya pun harus berhenti pada Oktober 1969 karena kasus pemuatan Cerpen “Langit Makin Mendung” karangan Kipandjikusmi dalam edisi Agustus 1968. Cerpen tersebut mengisahkan perjalanan Nabi Muhammad yang ingin melihat dari dekat kehidupan mutakhir di dunia yang semakin sibuk dengan kemaksiatan dan intrik-intrik politik. Dengan seizin Tuhan terbanglah Nabi Muhammad ke bumi dengan kuda sembrani yang di kawal Malaikat Jibril. Adapun kisah selanjutnya adalah perkembangan politik di Indonesia yang semrawut dengan tokoh Pemimpin Besar Revolusi (PBR) yang sibuk menghadapi intrik-intrik politik.
Tidak lama setelah cerpen tersebut terbit, timbullah protes sekelompok masyarakat yang beranggapan bahwa cerpen tersebut menghina Tuhan dan merusak akidah umat Islam. Akibat lebih lanjut adalah terbitnya keputusan kejaksaan Tinggi Sumatera Utara yang melarang beredarnya Sastra edisi Agustus 1968. Dengan peristiwa tersebut, HB Jassin mengajukan banding tapi tidak diterima lalu diberi hukuman satu tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun. Sedangkan majalah Sastra yang menerbitkan cerpen tersebut dituntut oleh kejaksaan.
  1. Tahun 1973, Sutardji Calzoum Bachri mengumumkan kredo puisinya
Sutardji Calzoum Bachri adalah serang penyair yang membawa pembaharuan dalam dunia Sastra Indonesia angkatan 70., yaitu dengan memperkenalkan kredo puisi. Dimuat pertama kali dalam majalah Horison (Desember 1974). Isi selengkapnya adalah sebagai berikut:
Kata-kata bukanlah alat pengantar pengertian. Dia bukanlah seperti pipa yang  menyalurkan air. Kata-kata adalah pengertian itu sendiri. Dia bebas.
Kalau diumpamakan dengan kursi, kata adalah kursi itu sendiri dan bukan alat untuk duduk. Kalau diumpamakan dengan pisau, dia adalah pisau itu sendiri dan bukan alat untuk memotong atau menikam.
Dalam kesehari-harian kata cenderung dipergunakan sebagai alat untuk menyampaikan pengertian. Dianggap sebagai pesuruh untuk menyampaikan pengertian. Dan dilupakan kedudukannya yang merdeka sebagai pengertian.
Dalam puisi saya, saya bebaskan kata-kata dari tradisi lapuk yang membelenggu mereka seperti Kamus dan penjajahan-penjajahan seperti moral kita yang dibebankan masyarakat pada kata-kata tertentu dengan dianggap kotor (obscene) serta penjajahan gramatika.
Bila kata-kata telah dibebaskan, kreativitas pun dimungkinkan. Karena kata-kata bisa menciptakan dirinya. Pendadakan kreatif bisa timbul, karena kata biasanya dianggap berfungsi sebagai penyalur pengertian tiba-tiba karena kebebasannya bisa menyungsang terhadap fungsinya. Maka timbullah hal-hal tak terduga sebelumnya yang kreatif.
Dalam (penciptaan) puisi saya, kata-kata saya biarkan bebas. Karena gairahnya telah menemukan kebebasan, kata meloncat-loncat dan menari-nari diatas kertas, mabuk dan belakangnya yang mungkin sama atau tak sama, membelah dirinya dengan bebas, menyatukan dirinya sendiri dengan yang lain untuk memperkuat dirinya, membalik atau menyungsang sendiri dirinya dengan bebas, saling bertentangan sendiri satu sama lainnya karena mereka bebas berbuat semaunya atau bila perlu membunuh dirinya bisa menolah dan berontak terhadap pengertian yang ingin dibebankan kepadanya.
Sebagai penyair saya hanya menjaga sepanjang tidak mengganggu kebebasannya agar kehadirannya yang bebas sebagai pembentuk pengertian sendiri, bias mendapatkan aksentuasi yang maksimal.
Menulis puisi bagi saya adalah membebaskan kata-kata yang berarti mengembalikan kata pada awal mulanya. Pada umumnya adalah kata. Dan kata pertama adalah mantera.Maka menulis bagi saya adalah mengembalikan kata pada mantera.
Jakarta, 30 Maret 1973

Itulah Kredo Puisi Sutardji. Pada akhirnya dia mengatakan “Kredo saya jangan dianggapi bahwa saya menerapkan secara mutlak.” (Tirtawijaya 1983:51).
  1. Masih pada tahun ini muncul istilah “aliran’ Rawamangun dan M. S. Hutagalung.
Aliran Rawamangun diproklamasikan oleh M. S. Hutagalung pada tahun 1975. Pada   saat itu kritik sastra akademik sudah berlangsung sekitar 20 tahun yang biasanya dlakukan oleh kalangan akademisi, misalnya sarjana sastra, ahli sastra, atau para calon sarjana sastra. Kritik Sastra Rawamangun ini keilmiahannya tampak dalam sistematika dan penggunaan metode yang ilmiah, pada  umumnya mereka berlandaskan pada teori-teori (kritik) sastra para ahli sastra yang berhubungan dan mengutamakan karya sastranya sendiri sebagai objek penelitian. Tokoh kritikus Rawamangun pada saat itu adalah J.U. Nasution, Boen Sri Oemarjati, M.S.Hutagalung, M. Saleh Saad.
  1. Pada 8 September tahun 1974 diselenggarakan “pengadilan” di Bandung. Masih pada bulan September diselenggarakan “Jawaban  Atas Pengadilan Puisi” yang dilangsungkan di Jakarta.
Puisi Indonesia Muktahir diadili sebagai “terdakwa”. Hakim ketua Sanento Yuliman, Hakim anggota Darmanto Jt., Slamt Kirnanto, pembela Taufik Ismail, dan saksi adalah sejumlah pengarang Indonesia.
Puisi Muktahir Indonesia diadili karena dianggap telah melakukan berbagai pelanggaran, antara lain bersikap anti inovasi serta pemandulan nilai. Berdasarkan sinyalemen di atas, jaksa mengajukan tuntutan kepada terdakwa Puisi Indonesia Mutakhir sebagai berikut.
1.      Agar para kritisi sastra Indonesia segera dipensiunkan dari jabatan mereka sebagai kritikus;
2.      Agar para editor majalah sastra dipensiunkan;
3.      Penyair-penyair mapan harus berhenti menulis;
4.      Penyair-penyair epigon harus dikarantina kan karena dianggap membahayakan bagi perkembangan puisi;
5.      Agar Majalah Horizon dan Budaya jaya dicabut surat izin ternitnya;
6.      Kepada masyarakat, dilarang membacaMajalahHorizon.
Itulah tuntutan jaksa terhadap terdakwa. Selanjutnya dihadapan saksi-saksi, antara lain: Sutarji Calzoum Bachri, Saini K. M., Rustandi Karyakusumah. Saksi Saini K. M., menyatakan antara lain bahwa pengadilan ini tidak sah, karena puisi Indonesia masih dibawah umur.
            Setelah saksi mengemukakan kesaksiannya, maka tampillah pembela, Taufik Ismail. Ia menyatakan pembelaan sebagai berikut:
1.      Menolak tuntutan pertama (mempensiunkan kritikus) dengan alasan karena mereka  ini tidak diangkat oleh suatu lembaga pemerintah. Tuntutan ini lemah karena itu tak dapat diterima.
2.      Tututan yang menyatakan bahwa editor harus diberhentikan juga ditolak karena kurang beralasan dan lemah.
3.      Tuntutan agar penyair mapan dilarang menulis, tidak masuk akal dan mengekang hak-hak asasi manusia. Tuntutan itupun lemah.
4.      Tentang epigon-epigon yang dilarang menulis, juga tidak dapat dibenarkan sebab mereka ini pada suatu masa menemukan diri sendiri. Tuntutan ini kurang kuat.
5.      Tuntutan mengenai penyair reinkarnasi agar diasingkan atau dilarang menulis, juga melawan biologi manusia. Padahal mereka adalah pelangi-pelangi puisi Indonesia. Tuntutan itu tidak bisa diterima.
6.      Agar Majalah Horizon dan Budaya Jaya dicabut surat izin terbitnya, juga tidak dapat diterima.
7.      Melarang masyarakat untuk membaca Majalah Horizon juga tidak dapat dibenarkan.
8.      Demikian isi singkat pembelaan Taufik Ismail terhadap terdakwa Puisi Indonesia Mutakhir.
9.      Akhirnya hakim Sanento Yuliman dan Darmanto Yt. Memutuskan ketujuh butir tuntutan dinyatakan ditolak, dan;
10.  Para kritikus boleh kembali mengkritik kembali sebab sebentar lagi akan diadakan sekolah pendidikan kritikus;
11.  Para editor majalahsastraterusmelanjutkanpekerjaannya;
12.  Para penyair epigon dan mapan terus menulis;
13.  Majalah sastra Horizon tetap terbit, tetapi berubah nama menjadi Horizon Baru.
            Atas keputusan hakim di atas, jaksa penuntut merasa tidak puas dan menyatakan naik banding pada pengadilan puisi yang akan datang.
            Begitulah pengadilan puisi itu berlangsung. Setelah peristiwa ini, di Jakarta diadakan acara jawaban atas pengadilan puisi, yaitu tanggal 21 September 1974, di Fakultas Sastra UI. Pembicara di dalam acara ini antara lain H. B, Jassin, M.S. Hutagalung, Goenawan Mohamad, dan Sapardi Djoko Darmo.
  1. Pada tahun 1975 diselenggarakan Diskusi Besar Cerita Pendek Indonesia yang diadakan di Bandung.
  2. Tahun 1977 muncul istilah angkatan 70, dilontarkan oleh Dami N. Toda.
Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Dami N. Toda dalam kertas kerjanya “Peta-Peta Perpuisian Indonesia 1970-an dalam Sketsa” yang diajukan dalam diskusi sastra memperingati ulang tahun ke-5 Majalah Tifa Sastra di Fakultas Sastra UI (25 Mei 1977). Kertas kerja ini kemudian dimuat dalam Majalah Budaya Jaya (September 1977) dan dalam Satyagraha Hoerip (ed) Semua Masalah Sastra (1982).
Angkatan 70 yang dikenal pembawa pembaharuan ditandai dengan dengan novel-novel Iwan Simatupang, yang jelas punya wawasan estetika novel tersendiri; lalu teaternya Rendra serta puisinya “Khotbah” dan “Nyayian Angsa”, juga perpuisian Sutarji Calzoum Bachri, dan cerpen-cerpen dari Danarto, seperti “Godlob”, “Rintik”, dan sebagainya.
Pengarang yang disebut sebagai Angkatan 70 ada yang sudah tergolongkan juga pada masa-masa sebelumnya. Hal inilah yang menandakan bahwa karya mereka terus berkembang.
  1. Tahun 1980 novel  Bumi Manusia  dan  Anak  Semua Bangsa  karya Pramoedya Ananta Toer dilarang  oleh  pemerintah. Demikian  pula untuk novel-novel lainnya (1985, 1987, 1988).
Novel Bumi Manusia dilarang oleh pemerintah karena dianggap memaksakan pandangannya sebagai ikon perlawanan terhadap orde baru yang mengakibatkan dirinya diasingkan di pulau buru. Pandangannya terhadap kebangkitan nasional sampai saat ini masih harus dikaji oleh para pakar dan sejarahwan. Namun, novel yang dianggap sebagai “terlarang” baru bebas dibaca seteah revolusi Mei 1998 karena dianggap mewakili pembebasan publik.
  1. Pada bulan Agustus tahun 1982 diadakan seminar Peranan Sastra dalam Perubahan Masyarakat yang diselenggarakan di Jakarta.
  2. Pada tahun 1984 muncul masalah “sastra kontekstual”, serta jadi topic diskusi.
Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Ariel Heryanto pada Saresehan Kesenian  di Solo, 28-29 Oktober 1984. Menurut Ariel, sastra kontekstual adalah sejenis pemahaman atas seluk-beluk kesusastraan dengan meninjau kaitannya dengan konteks sosial-historis kesusastraan yang bersangkutan. Bukan sejenis karya sastra.

C.    Media yang Digunakan Pada Angkatan ‘70
Majalah Horison adalah tempat dimana para sastrawan menuangkan tulisannya kepada media. Pada tahun-tahun tersebut, majalah Horison mendapatkan banyak karya. Tetapi, karena pembaharuan dalam sastra pada angkatan 70, banyak penyair atau penulis-penulis baru yang mengirimkan karyanya, majalah Horison membatasi penerimaan karya dari berbagai kalangan. Dengan pembatasan penerimaan karya dalam majalah Horison, timbullah media-media baru yang menerima karya-karya yang tidak dapat ditampung oleh majalah Horison seperti koran-koran yang diandalkan kewibawaannya adalah Kompas, Media Indonesia, dan Republika di Jakarta, Pikiran Rakyat di Bandung, Kedaulatan Rakyat di Yogyakarta, Suara Merdeka di Semarang, dan Jawa Pos di Surabaya. Disamping itu, terbit juga mejalah ilmiah sejarah dan sastra dibanyak perguruan tinggi yang dapat dipandang sebagai jalur tersendiri.
Sebagai contoh, Sutarji mempublikasikan karyanya berupa puisi, dan cerpen di koran harian, begitu pula YB Mangun Wijaya yang mempublikasikan novel khotbah di atas bukan sebagai cerita bersambung di koran sebelum mempublikasikannya dalam media buku.

D.    Ciri-ciri Karya Sastra Angkatan ‘70
1.         Puisi
*        Struktur Fisik
a.    Puisi begaya bahasa mantera menggunakan sarana kepuitisan berupa ulangan kata, frasa, atau kalimat. Gaya bahasa paralelisme dikombinasikan dengan gayahiperbola untuk memperoleh efek yang sebesar-besarnya, serta menonjolkan tipografi.
b.    Puisi konkret sebagai eksperimen.
c.    Banyak menggunakan kata-kata daerah untuk memberikan kesan ekspresif.
d.   Banyak menggunakan permainan bunyi.
e.    Gaya penulian yang prosaik.
f.     Menggunakan kata yang sebelumnya tabu.

*        Struktur Tematik
a.       Protes terhadap kepincangan masyarakat pada awal industrialisasi;
b.      Besadaran bahwa aspek manusia merupakan subjek dan bukan objek pembangunan;
c.       Banyak mengungkapkan kehidupan batin religius dan cenderung mistis.
d.      Cerita dan pelukisnya bersifat alegoris atau parable;
e.       Perjuangan hak-hak azasi manusia; kebebasan, persamaan, pemerataan, dan terhindar dari pencemaran teknologi modern;
f.       Kritik sosial terhadap si kuat yang bertindak sewenang-wenang terhadap mereka yang lemah, dan kritik tentang penyelewengan.
2.         Prosa dan Drama
*        Struktur Fisik
a.       Melepaskan ciri konvensional, menggunakan pola sastra “asurd” dalam tema, alur, tokoh, maupun latar;
b.      Menampakkan ciri latar kedaerahan“warna lokal”.
*        Struktur Tematik
a.       Sosial: politik, kemiskinan, dan lain-lain;
b.      Kejiwaan;
c.       Metafisik.
E.     Sastrawan-Sastrawan Angkatan ‘70
  1. Putu Wijaya
Putu Wijaya merupakan penulis yang memiliki keterampilan lengkap. Selain ia mampu menulis dengan baik di bidang prosa, ia juga mampu menulis dengan baik di bidang lainnya. Ia lahir di Tabanan Bali, tanggal 11 April 1944 dikenal sebagai pengarang yang produktif dan sering mendapat hadiah sayembara mengarang. Kepengarangannya telah dibahas Th Sri Rahayu Prihatmi dalam disertasi di UI (1993) dan dalam buku. Novelnya, telegram (1972) dianggap menampilkan corak baru dalam penulisan novel Indonesia tahun 70-an.
Diantara karya-karya Putu Wijaya, yaitu:


a.       Orang-orang Mandiri (drama);
b.      Lautan Bernyanyi (drama);
c.       Telegram (novel);
d.      Aduh (drama);
e.       Pabrik (novel);
f.       Stasiun (novel);
g.      Hah (novel);
h.      Keok (novel);
i.        Anu (drama);
j.        MS (novel);
k.      Sobat (novel);
l.        Tak Cukup Sedih (novel);
m.    Dadaku adalah perisaiku (kumupulan sajak);
n.      Ratu (novel);
o.      Edan (novel);
p.      Bom (kumpulan cerpen).



  1. Sutardji Calzoum Bachri
Sutardji Calzoum Bachri lahir pada tanggal 24 Juni 1941 di Rengat, Riau. Pendidikan akhirnya adalah Jurusan Administrasi Niaga, Fakultas Sosial dan Politik Universitas Padjadjaran Bandung. Sejak September 1979, ia menjadi redaktur Majalah Horison. Pada tahun 1978 Sutardji mendapat hadiah puisi dari Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 1976-1977, untuk kumpulan puisinya Amuk (1977; tahun 1979 memperoleh hadiah sastra ASEAN. Buku-buku puisinya ialah: O” (1973), Amuk (1977), Kapak (1979). Kumpulan-kumpulan puisi ini pada tahun 1981 diterbitkan dalam satu buku berjudul O Amuk Kapak.
  1. Arifin C. Noer
Arifin C Noer (kelahiran Cirebon, 10 Maret 1941) dikenal sebagai dramawan dan tokoh Teater Kecil. Dramanya yang populer Kapai-Kapai (1970), Sumur Tanpa Dasar (1971), dan Kasir Kita (1977). Karyanya yang lain:
a.       Orkes Madun (drama);
b.      Selamat Pagi, Jajang (kumpulan sajak);
c.       Tengul (drama).
  1. Darmanto Jatman
Darmanto Jatman kelahiran Jakarta, 16 Agustus 1942. Pada tahun 1968, lulus dari Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada dan menjadi dosen tetap di Universitas Diponegoro serta bergiat dalam berbagai bidang kesenian, penelitian sosial dan jurnalistik, tahun 1972 pernah studi di Universitas Hawai Amerika Serikat dan lulus Fakultas Pascasarjana Universitas Gajah Mada. Buku-buku sastranya yang penting: kumpulan Sajak Bangsa (1975), Sang Darmanto (1975), Ki Blakasuta Bla Bla (1980), Karya Iya Bilan Boten (1981), Golf Untuk Rakyat (1994), dan Isteri 1997). Keseluruhan sajaknya itu telah disatukan dalam Sori Gusti (2002).
  1. Danarto
Danarto lahir pada tanggal 27 Juni 1940 di Mojowetan, Sragen Jawa Tengah. Ia adalah dosen di Institut Kesenian Jakarta sejak 1973. Lulusan ASRI Yogya tahun 1961 ini pernah aktif di Sanggar Bambu, Jakarta. Ia juga pernah menjadi redaktur Majalah Zaman (1979-1985).
Cerpennya “Rintik”, memenangkan hadiah Horison tahun 1968. Cerpen-cerpennya, termasuk “Rintik”, dihimpun dalam kumpulan cerpen berjudul Godlob (1976). Kumpulan cerpennya Adam Ma’rifat (1982), meraih hadiah sastra DKJ 1982 dan Kebudayaan (1982). Kumpulan cerpennya yang lain, Berhala (1987), memenangkan hadiah Yayasan Buku Utama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1987.
  1. Iwan Simatupang
Iwan Simatupang lahir di Sibolga, Sumatra Utara pada tanggal 18 November 1928, meninggal di Jakarta tanggal 4 gustus 1970. Berpendidikan HBS Medan, Fakultas Kedokteran di Surabaya (1953: tidak tamat), dan tahun 1954-1958 memperdalam pengetahuan di Eropa (Antropologi di Universitas Leiden, drama di Amsterdam, dan Filasfat di Universitas Sarbone Paris). Pernah menjadi komandan Pasukan TRIP di Sumatera Utara tahun  1949, guru SMA Jalan Wijayakusuma di Surabaya (1950-1953), reaktur Siasat (1954), dan terakhir menjadi redaktur Warta Harian (1966-1970). Karya lainnya:


a.       Merahnya Merah (roman);
b.      Kering (roman);
c.       Ziarah (roman);
d.      Kooong (roman).



  1. Budi Darma
Budi Darma lahir tanggal 25 April 1937 di Rembang, Jawa Tengah. Ia adalah dosen IKIP Surabaya. Novel Olenka (1983), memenangkan hadiah pertama Sayembara Mengarang Roman DKJ tahun 1983. karyanya yang lain: Orang-Orang Bloomington (1980), Soliloku (1983), Sejumlah Esai Sastra (1984), dan Rafilus (1988). Tahun 1984 ia memenangkan hadia sastra ASEAN.
  1. Taufik Ismail
a.       Puisi-puisi Sepi (kumpulan sajak);
b.      Kota, Pelabuhan, Ladang, Angin, dan Langit (kumpulan sajak);
c.       Sajak Ladang Jagung (kumpulan sajak).
  1. Arswendo Atmowiloto
Arswendo Atmowiloto, lahir di Solo 26 November 1948. Ia di kenal sebagai pengarang cerpen dan novel yang produktif, selain itu namanya perneah melejit karena kasus Tabloid Monitor dan bukunya yang populer dikalangan pengarang pemula adalah Mengarang itu Gampang (1982). Novel-novelnya antara lain Semesra Merapi Merbabu (1977), Senopati Pamungkas (1986), dan Canting (1986). Karya-karya lainnya, antara lain:
a.       Lawan Jadi Kawan (cerita anak);
b.      Bayang-bayang Baur (novel);
c.       Teu Cireus (novel);
d.      Surat dengan Sampul Putih (kumpulan cerpen);
e.       Saat Kau Berbaring di dadaku (novel);
f.       2 x cinta.
  1. Y.B Mangunwijaya
Karyanya yang terkenal yaitu Burung-Burung Manyar (1981), Roro Mendut (1983), Genduk Duku (1985), Lusi Lindri (1987), Burung-Burung Rantau (1992), dan kumpulan esai sastra dan religeositas.
  1. Abdul Hadi WM
Karyanya yang terkenal, berupa:
a.       Laut Belum Pasang (kumpulan sajak);
b.      Cermin (kumpulan sajak);
c.       Potret Seorang Pengunjung Pantai Sanur (kumpulan sajak);
d.      Meditasi (kumpulan sajak);
e.       Tergantung pada Angin (kumpulan sajak);
f.       Manusia dalam Sastra Indonesia Muttakhir (kumpulan essai);
g.      Zaman Edan dan Sastra Frustasi (kumpulan essai).
  1. Emha Ainun Najib
Lahir pada tanggal 27 Mei 1953 di Jombang, Jawa Timur. Memperoleh pendidikan di Pondok Pesantren Gontor, SMA Yogya, dan Fakultas Ekonomi UGM (hanya sebentar). Pernah menyadi redaktur Harian Masa Kini, Yogya (1973-1976), kemudian memimpin Teater Diansti, Yogya. Karya-karya lainnya, antara lain:    


a.       Frustasi (kumpulan sajak);
b.      Sajak-sajak Sepanjang Jalan (kumpulan sajak);
c.       Mabang;
d.      Tangis;
e.       Lingkaran Dinding;
f.       Kepala Kampung;
g.      Seorang Gelandangan;
h.      Mimpi Setiap Orang;
i.        Mimpi Istriku;
j.        99 untuk Tuhanku (sajak);
k.      Di Belakangku.



  1. Korrie Layun Rampan
Korrie Layun Rampan (kelahiran Samarinda, 17 Agustus 1953) melejit namanya lewat roman Upacara (1978) yang berasal dari Sayembara Penulisan DKJ 1976, kemudian menjadi penulis dan editor produktif sebagaimana tampak pada puluhan bukunya, antara lain:
a.       Cerita Pendek Indonesia Mutakhir: Sebuah Pembicaraan (1982);
b.      Suara Pancaran Sastra (1984);
c.       Trisno Sumardjo Pejuang Kesenian Indonesia (1984);
d.      Antologi Puisi Wanita Penyair Indonesia (1985);
e.       Aliran-aliran cerita pendek (1995); dan
f.       Tokoh-tokoh Cerpen Indonesia (2005).
  1. Umar Kayam
Umar Kayam adalah guru besar di Universitas Gajah Mada yang bergiat di mana-mana. Buku-bukunya yang penting: kumpulan cerpen Seribu Kunang-Kunang di Manhattan (1972), novel Sri Sumarah dan Bawuk (1975), kumpulan esai Seni Tradisi Masyarakat (1981), roman Para Priyayi (1992) dan Jalan Menikung (2000).
  1. Kuntowijoyo
Karyanya antara lain Khotbah di Atas Bukit (1976) dan Mantera Penjinak Ular (2000).  Novel Khotbah di atas Bukit bertemakan kegelisahan batin akibat batin kondisi sosial. Ia mengajak pembaca untuk merenungkan kehidupan ini. Kuntowijoyo banyak mengguanakan kata-kata mutiara sebagai pengungkap renungan hidup.
  1. Remy Sylado
a.       Gali Lobang Gila Lobang (roman);
b.      Kita Hidup Hanya Sekali (roman);
c.       Belajar Menghargai Hak asasi Kawan (sajak).





DAFTAR PUSTAKA
K.S, Yudiono. 2010. Pengantar Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta: PT Grasindo

Website:

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah Penelitian Keterbacaan

Duta Universitas Negeri Jakarta