PERLAWANAN TERHADAP HAK-HAK PEREMPUAN DALAM NOVEL GADIS PANTAI KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER DAN NOVEL PEREMPUAN DI TITIK NOL KARYA NAWAL EL-SAADAWI : SUATU KAJIAN FEMINISME
Oleh
Riska Yuvista
“Membaca karya-karya
sastra dari negeri yang sedang berkembang ini, kita di Indonesia, pasti akan
menemukan banyak persamaan, meskipun tentu juga akan diketemukan berbagai
reaksi dan jawaban yang berbeda, akibat dari latar belakang sejarang, kondisi
dan situasi masyarakat maupun perorangan, agama, dan sebagainya”, tutur Mochtar
Lubis dalam prakata buku Perempuan Di
Titik Nol Karya Nawal el-Saadawi. Hal demikian pula dapat menjadi patokan
adanya kesamaan-kesamaan dalam cerita dengan latar yang berbeda-beda yang biasa
di kaji dengan menggunakan pendekatan Intertekstual. Akan tetapi, pada
pembahasan kali ini, saya akan mengkaji Novel Gadis Pantai Karya Pramoedya Ananta Toer Dan Novel Perempuan Di Titik Nol Karya Nawal
El-Saadawi menggunakan Suatu Kajian Feminisme dengan melihat perlawanan
terhadap hak-hak perempuan.
Sedikit mengulik
tentang Feminisme dalam hal ini kedudukan tokoh perempuan yang biasanya dikemas
dalam cerita-cerita fiksi, sering diperlakukan, dipandang, atau diposisikan
lebih rendah daripada tokoh laki-laki. Para tokoh perempuan itu
disubordinasikan dari tokoh laki-laki, atau paling tidak, tidak memiliki hak
dan kesempatan yang sama dalam berbagai hal yang menyangkut aspek kehidupan. Keadaan
semacam itu dalam cerita tersebut biasanya dipandang mencerminkan kehidupan
nyata di mana perempuan juga dianggap
berposisi lebih rendah dan keadaan itu pula yang menyebabkan perempuan
menggugat karena merasa tidak diperlakukan secara adil. Selain itu, Keadaan
tersebut menyebabkan munculnya gerakan atau paham feminisme sebagai bagian dari
kajian sastra dan budaya tahun 1970-an (Ryan, 2011:179), yang menggugat
ketidakadilan terhadap perempuan dan sekaligus menuntut persamaan terhadap laki-laki.
Novel Gadis Pantai ditulis oleh Pramoedya diangkat
dari kenyataan dan pengalaman sejarah sosial-budaya manusia-manusia Indonesia
dan berkait dengan keluarga pengarang sendiri, sehingga karenanya bisa disebut
sebagai roman keluarga. Lain hal dengan Novel Perempuan Di Titik Nol karya el-Saadawi yang bercerita tentang
kondisi kaum hawa di Mesir, dikarang oleh seorang perempuan yang tidak lain berprofesi
sebagai dokter, kemudian diterjemahkan
oleh Mochtar Lubis. Kehadiran buku Nawal el-Saadawi ini menunjukan perjuangan perempuan
mesir untuk merebut hak-hak yang sama dengan laki-laki di Mesir yang belum
sepenuhnya tercapai. Dari hal tersebut dapat dilihat bahwa kajian feminisme
dapat berkembang dimanapun.
Kedua novel yang
digambarkan kan melalui 2 tokoh, yaitu Firdaus dan Gadis Pantai memiliki banyak
kesamaan baik melalui kesamaan nasib, penyebab, termasuk sama-sama membuat saya
geram dan merasa canpur aduk ketika membacanya.
Novel
Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta
Toer digambarkan secara spesifik melalui tokoh Gadis
Pantai yang hidup di Pantai Keresidenan Jepara Rembang bersama kedua orang
tuanya yang sehari-hari bergantung hidup pada laut. Orangtuanya menginginkan ia
mendapatkan kehidupan yang lebih layak, sehingga mereka memutuskan untuk
menikahkan Gadis Pantai dengan Bendoro Bupati bernama Agus Rahmat, seorang
ulama dari kota saat usianya 14 tahun dan jarak usia mereka amatlah jauh. Gadis
Pantai dijadikan sebagai seorang selir yang hanya difungsikan untuk memenuhi
kebutuhan seksualnya, tak kala ia juga mendapat perlakuan yang tidak senonoh
dari orang disekitarnya, ia mengalami banyak tekanan batin dari pernikahannya
dengan Agus rahmat. Bahkan ketika ia ia memiliki keturunan ia mengalami
penolakan dari suaminya dan memutuskan untuk kembali ke desa. Akan tetapi, hal
serupa pun turut dialaminya.
Novel
Perempuan Di Titik Nol karya
el-Saadawi menceritakan kehidupan nyata seorang
tokoh bernama Firdaus yang semasa hidupnya pengalami pelecehan-pelecehan dari
sekitar. Ia mengalami hal tersebut sejak ia berusia anak-anak, dimulai dengan
bermain-main diladang, batasan-batasan dari orang tuanya, hingga di dunia
kerjanya pun ia berprofesi sebagai pemenuh nafsu laki-laki. Selama ia bekerja
sebagai wanita malam, ia memperoleh tindakan-tindakan kasar dari para pelanggannya,
tak segan-segan ia mendapat sejumlah kekerasan. Seringkali ia jenuh dan
berontak dari kehidupannya, akan tetapi ia tak bisa keluar dari zona tersebut.
Ia dimanfaatkan dan dipekerjakan
layaknya bukan manusia. Firdaus memberanikan diri untuk melawan ketertindasan
yang ia alami dengan cara membunuh. Akhir cerita, ia mendapat hukuman mati di
penjara.
-;
Komentar
Posting Komentar