EDELWEIS TERAKHIR
Ku sapa kau rindu
Sebab kamu merasuk pada relung terujung
yang besemuka tanpa pernah kita berencana
Ku panggil kau abu
Karena jiwamu terlalu palsu untuk bersekutu
Ku catat kau dalam buku
Agar kamu terbenak dalam untaian sajakku
Kamu tersemat sendirian diantara malam menuju pagi
Berdiri tegar dihamparan bukit tertinggi
Pernah bertalu aku singgah diselasar waktu
Indah panorama tak juga menyatu pada aku dan kamu
Kupetik Edelwis yang terlarang
Lalu, ku tanam dalam-dalam sebelum berpindah tangan
Belum sampai ku besarkan
Sayang, terbuai pada belokan dipinggir tikungan
---Kay----
Jakarta, November 2015
Terkadang aku ingin menjadi setangkai bunga Edelweis, ia tumbuh dan
hidup dihati pecintanya sebagai lambang keabadian, pengorbanan dan
ketulusan. Sajak di atas aku tulis untuk seseorang yang pernah singgah
sejenak kemudian ia beranjak. Tapi, kehadirannya menuliskan kisah yang
sukar untuk aku terjemahkan. Banyak orang yang bercerita tentang cinta,
tentang perasaannya, tentang sebuah pertemuan dan tentang tanda tanya
yang tak bisa dijawab. Ya, aku pun begitu. Ia menjadi sosok yang sekejap
datang, singgah dan memberi warna baru bagiku. Seperti kedengarannya ia
hanya hadir sekejap dan tidak untuk menetap dalam waktu yang lama.
Bisa
dibilang ini adalah kedua kalianya aku mencintai pria, yang pertama
telah tersemat jauh dalam relung yang tak ingin aku ingat lagi. Aku bisa
melupakannyanya ya karena dia. Sayangnya ia tidak percaya dan memilih
jalan lain di pertigaan yang belum sempat kami lewati. Mungkin
kedengarannya mustahil, sebab tiang diantara kami tak mungkin
dipatahkan. Entahlah, aku yang terlalu rindu atau kamu yang begitu tidak
tahu. Intinya, mudah saja kita bertemu dan bersimpati dengan seseorang
yang baru. Tetapi, bukan berarti kita menaruh sesuatu yang lebih
untuknya. Sesuatu yang baru aku dapat dari kata kita, yaitu menjalin
kebersamaan dalam perbedaan.
Aku ucapkan selamat untukmu yang telah beranjak menyusuri lembah yang baru.
Entah
apa yang harus katakan. Jujur saja aku tak cukup behagia mendengarnya,
karena bagaimanapun kamu pernah singgah dipelabuhan senja milik kita.
Tetapi, cinta tak selalu bersama bukan? Ah, Munafik! tidaklah, aku cukup
bahagia mendengarnya. Bukan bahagia karena kamu bersamanya, lain hal
aku bahagia karena melihat kamu bisa tertawa bersama dia yang mampu
membuatmu kembali tersenyum. Terima kasih kamu telah mengajarkanku
sesuatu, yaitu sebuah perbedaan yang mengajarkan kita untuk saling
toleransi dan mengis. Terima kasih juga untuk sajakmu tempo hari. Aku
amat menyukainya.
Seperti yang pernah kamu katakan:
'SEJAUH
APAPUN NEGERI YANG KAMU KUNJUNGI, TIDAK AKAN PERNAH MENGAMBILMU
SELAMANYA. KAMU PASTI AKAN PULANG KE RUMAH, SEMOGA SAJA SAYA BISA
MENJADI RUMAH TENANGMU UNTUK MU KEMBALI DARI PETUALANGAN. YA, SEMOGA
SAJA'
Bukan
aku yang pergi dan tak kembali, melainkan kamu yang mulai berpetualang
mencari singgahsana tanpa tau kapan harus pulang. SEKIAN.
RY
Komentar
Posting Komentar